Thursday, April 14, 2016

Balok Transfer dan Kolom Transfer


Ada diskusi menarik di halaman facebook DTS, tentang struktur sebuah bangunan sederhana yang posisi kolomnya agak “ngga biasa” seperti gambar di bawah





Tentu saja konstruksi seperti itu kelihatan nggak biasa bagi sebagian besar orang, baik awam bahkan orang-orang konstruksi itu sendiri. Padahal, konstruksi semacam itu sangat banyak dan sangat sering ditemui.

Cuman… memang untuk struktur bangunan rendah (3 lantai atau kurang), memang sangat jarang ditemui kasus seperti ini. Soalnya, anggapan yang beredar luas di mayarakat adalah yang namanya kolom itu harus lurus segaris dari bawah sampai atas!
Seandainya memang harus seperti itu, berbahagialah kita para perencana struktur karena ngga perlu susah-susah menghitung konstruksi yang aneh-aneh.

Emang Kolom Boleh Nggak Segaris?

Pertanyaan ini saya jawab dengan : “sangat boleh”




Kalo perlu saya bilang, belum lengkap rasanya jadi perencana stuktur kalo belum pernah menghitung (merencanakan) kolom yang ngga segaris seperti ini – dengan cara yang benar tentu saja. Minimal tahap studi aja… ngga perlu tahap proyek.  Bukannya sombong, tapi kasus ini termasuk unik tapi sering ditemui. Makanya sayang banget kalau ada kesempatan menghadapi kasus ini tapi malah dihindari hanya karena alasan, malas atau susah ngitungnya.

Yang jelas, boleh banget kolom ngga segaris dari atas sampai bawah… mau selang-seling juga boleh. Yang penting KUAT. Cara taunya kuat atau ngga… ya dihitung lah. Itulah gunanya mempelajari analisa struktur, mekanika teknik, desain struktur beton-baja-kayu.


Jadi – mohon maaf banget nih – kalo ada yang bilang kolom itu harus segaris dari atas sampai bawah, mungkin belum pernah berkenalan dengan materi yang saya sebutkan di atas tadi, atau belum pernah mengaplikasikan ilmu-ilmu tadi.

Saya kan bukan anak teknik, gan. Mana pernah belajar begituan..
Makanya… Open-mouthed  … ah sudahlah.. In love

Kolom Eksentris

Judul artikel ini adalah Balok Transfer dan Kolom Transfer, itu sebenarnya adalah puncak dari kasus ini.

Dan sebelum ke situ, kita sentuh dulu tentang kolom eksentris ini. Kolom eksentris itu simpelnya gini, kalau ada beban yang bekerja di atas kolom tapi tidak pada pusat gravitasi (cog) penampang kolom, itu berarti kolom itu menerima beban eksentris.

Beban eksentris adalah beban yang bekerja bukan pada titik pusat massa atau titik pusat gravitasi.

Jarak antara titik tangkap beban yang bekerja terhadap titik pusat gravitasi penampang kolom disebut eksentrisitas, biasanya disimbolkan e. Kalo eksentrisitasnya ke arah x sumbu penampang, simbolknya ex, begitu juga dengan ey.



Di mekanika struktur / mekanika teknik / analisa struktur sudah sangat sering dibahas, kalo ada beban terpusat P bekerja secara eksentris, maka akan timbul momen lentur yang menyertai beban terpusat itu, yang besarnya M = P*e.



(nb: centroid = garis titik berat atau sumbu utama penampang)

Kalau sudah seperti ini, kolom itu tinggal didesain terhadap beban P dan M. Konsepnya seperti itu.

Pertanyaan pentingnya adalah:

“Dari mana saja asal beban eksentris itu?”

Posisi kolom dari lantai di atasnya yang titik pusat gravitasnya ngga segaris dengan kolom di bawahnya.
Bukan cuma perubahan posisi kolom, perubahan ukuran kolom juga bisa menyebabkan eksentrisitas kalo memang titik pusat gravitasnya ngga menerus.

Posisi balok yang bertumpu pada kolom yang titik centerline-nya ngga ketemu dengan titik pusat gravitasi kolom.

Korbel. Jelas banget ada eksentrisitas di situ.

dan lain-lain…


Jadi… kolom eksentris itu terjadi bukan hanya karena posisi kolom yang ngga segaris, tapi banyak penyebab lainnya yang entah kita sadari atau ngga, ternyata itu adalah eksentris.

Kolom Transfer (dan Balok Transfer)

Nah… kondisi ekstrimnya… kita ambil kasus kolom lantai atas yang ngga segaris dengan kolom. Bagaimana kalo misalnya kolom yang di lantai atas kita geser lebih jauh lagi… 1 meter… 2 meter… pokonya sampai pisah sepisah-pisahnya sama kolom di bawahnya. LDR lah pokoknya. Long Distance Relationship!

Kalo kasusnya seperti ini, yaa kita kembali ke mekanika teknik lagi. Kita perlu balok sebagai penghubung antara dua kolom yang terpisah tadi. Kolom yang atas bertumpu di sebuah balok, dan balok itu bertumpu lagi pada satu atau dua kolom di ujungnya. Baloknya bisa di tengah bentang, atau bisa balok kantilever.





Nah… kolom yang terputus di suatu lantai tertentu – ngga menerus sampai ke lantai di bawahnya – itulah yang dinamakan Kolom Transfer.

Sementara balok yang memikul kolom transfer, disebut Balok Transfer.

Kalau uang yang dipakai buat membangun kolom dan balok transfer, NGGAK perlu disebut uang transfer. Bayar tunai atau kredit juga bisa. (serius amat..

Penderitaan

Kalo uang transfer kan bisa bikin kita senang,… kalo kolom dan balok transfer justru sebaliknya.. menderita. Yang menderita bukan cuma perencananya. Balok dan kolom transfer itu juga sebenarnya lebih menderita dibanding balok-balok dan kolom-kolom normal yang lain.

Kalo kolom transfer sebenarnya ngga terlalu beda dengan kolom lain. Paling perhatian kita harus fokus ke detail penyambungannya ke balok transfer. Perilakunya seperti apa, apakah dia rigid (fixed) ke balok, atau flexible (moment released). Itu menentukan detailnya.

Sementara balok transfer.. luar biasa penderitaannya. Apalagi kalo jumlah lantai yang dipikul di atasnya lebih banyak, wah.. bisa luar biasa ukuran baloknya.

Dan… salah satu musuh utama dari Balok dan Kolom Transfer adalah tentu saja… gempa.  Tau sendiri kan pertimbangan beban gempa di Indonesia seperti apa. Bahkan di peraturan (SNI) beban gempa sempat disinggung khusus tentang balok transfer ini, terutama dalam memikul pengaruh beban gempa vertikal. Ngeri-ngeri sedap lah pokoknya.

Kayaknya itu saja sebagai pengantar tentang Balok dan Kolom Transfer. Semoga mendapat sedikit pencerahan.

Terakhir… biar saya ngga dituduh omong kosong saya coba perlihatkan salah satu screenshot salah satu proyek kami yang ada kasus balok/kolom transfernya.



Tantangan dari struktur ini adalah, bangunan ini didominasi partisi kaca, jadi ada beberapa posisi kolom dari atas yang ngga bisa diteruskan ke bawah karena posisinya ada di tengah-tengah kaca. Mungkin ada sekitar 4 atau 5 kolom transfer di struktur ini. Untungnya, struktur ini termasuk “ringan”, makanya itu juga yang bikin kami berani.

Semoga Bermanfaat.

Sumber: http://duniatekniksipil.web.id/1868/balok-transfer-dan-kolom-transfer/#more-1868

Thursday, March 10, 2016

Pondasi Tapak, Masalah Eksentrisitas 2 Arah


DTS sedang mengembangkan sebuah aplikasi mobile untuk Android Platform. Aplikasi itu adalah aplikasi perhitungan pondasi tapak. Tahapnya sih, untuk interface (tampilan depan) bisa dibilang sudah 90% rampung. Tapi untuk core-nya yang berisi modul-modul analisis dan perhitungan, masih 60%an.
Ada sedikit kendala pada perhitungan pondasi tapak yang memikul beban eksentris 2 arah, dengan ekstenrisitas yang besar, dalam hal ini lebih besar dari B/6 dan L/6. (B dan L masing-masing adalah ukuran footing atau tapaknya).
Sebelum masuk ke sana lebih jauh, kita review secara singkat saja kali ya.
Normalnya, pondasi itu menerima beban aksial yang cukup besar, katakanlah P, bekerja di titik berat pondasi.
image
Secara sederhana, kita bisa hitung tekanan di dasar pondasi:
q = \dfrac{P}{BL}
catatan: berat sendiri pondasi diabaikan dulu ya.
Tekanan q itu bekerja merata di seluruh area dasar pondasi. Aktualnya sih ngga gitu, tergantung tipe tanahnya, tapi ini kan teori, penyederhanaan, pemodelan.. Smile
Lupakan kondisi aktual, kita ke teori dulu.
Bagaimana jika ada momen? Atau, bagaimana jika ada eksentrisitas?
Misalnya, beban P itu kita geser menjauhi titik berat.
image

Kami anggap pembaca sudah punya basic tentang ini, jadi bagian yang ini bisa dipahami. Kalau ngga, silahkan buka-buka lagi tentang tegangan, ngga cuma di pondasi, teori dasar ini juga berlaku buat balok, kolom, retaining wall, dll.
Dari diagram tegangan bisa kelihatan, ada satu sisi pondasi yang tekanannya meningkat, ada yang mengecil. Hingga suatu saat, ada kondisi di mana q_{min}  mencapai nilai 0 (nol).
Kondisi itu tercapai ketika eksentrisitas e nilainya sama dengan B/6.
Jika nilai e sama dengan B/6, maka:
q_{min} = 0 , dan
q_{max} = \dfrac{2P}{A} = 2q
Nah… jike e terus kita perbesar, apa yang terjadi?
Meyerhoff (silahkan cari referensinya, ada di banyak textbook) mengenalkan konsep luas efektif.
image
Sumber: Geotechnical Engineering – V.N.S Murthy, Fig 12.14, halaman 516
Kami capture langsung aja dari sumbernya, biar ngga dibilang ngarang..  
(padahal malas bikin ilustrasi)
Kita ambil satu kasus di atas – seperti contoh sebelumnya – yaitu gambar (b).
Menurut Meyerhoff, ketika eksentrisitas melewati kern area – yang dibatasi B/6 tadi (atau L/6) pada arah satunya – maka distribusi tekanan menjadi merata, tapi luas areanya mengecil menjadi area efektif A’.
A` = B`L` , dan
q` = P/A`
q’ adalah tekanan yang terjadi di dasar pondasi akibat beban P dan eksentrisitas e (> B/6)
Pada kasus kita di atas, eksentrisitas hanya terjadi di arah B, tapi ngga di arah L. Sehingga L’ tetap sama dengan L.
q` = \dfrac{P}{B`L}
Coba lihat gambar (a) di atas,
B` = B - 2e
Kalo kita substitusi lagi,
q` = \dfrac{P}{L(B-2e)}
Sudah kembali ke variabel dasar lagi kan semua? Ada P, B, L, dan e.
Jadi, kita bisa tuliskan lagi sbb:
Untuk 0\geq e \geq B/6 q = \dfrac{P}{BL} (1+\dfrac{6e}{B})
Untuk e > B/6 q = \dfrac{P}{L(B-2e)}
Dimana q adalah tekanan maksimum yang terjadi di dasar pondasi.
Sampai sekarang kelihatan masih aman ya.
Problem Sebenarnya!
Masalah sebenarnya justru mulai kelihatan di sini. Kalo kita kritis, kita bisa “ulek” formula di atas lebih jauh lagi.
Kita ambil kasus, bagaimana jika nilai e kita substitusi dengan nilai batasnya, yaitu B/6?
Untuk kasus pertama (e < B/6), kita udah coba di atas, dan hasilnya adalah
q = \dfrac{2P}{BL}
Untuk kasus kedua (e > B/6):
q = \dfrac{P}{L ( B - {2 \dfrac{B}{6}} ) }
q = \dfrac{P}{L (B - \dfrac{B}{3} ) }
q = \dfrac {P}{\dfrac{2BL}{3}}
q = \dfrac{1.5P}{BL}
Jreng!!… Hanya 1.5P/BL… Bandingkan dengan 2P/BL jika dihitung dari arah kiri (arah e < B/6). Ngga ada kontinuitas di sini.
Ini masalah kalo sudah berhadapan dengan desain.
Soalnya kami sendiri pernah mengalami, mendesain pondasi tapak dengan momen yang cukup besar (eksentrisitas besar). Pakai cara trial & error. Ambil ukuran yang besar dulu, kemudian perlahan-lahan dikecilin sampai tekanan tanahnya mendekati dengan tekanan tanah ijin.
Akhirnya ketemu lah di satu ukuran tertentu.
Setelah di-review, klien minta kalo bisa diperkecil lagi. Lha…? Akhirnya kami iseng-iseng coba. Ukuran-pondasi itu kami kecilin lagi, dan hasilnya tentu saja selalu FAIL.
Tapi, anehnya, tiba-tiba ada di satu ukuran tertentu – yang lebih kecil lagi – pondasi itu jadi OKE. Tekanannya di bawah tekanan ijin. Kan aneh. ? Formula ngga ada yang salah, input ngga ada yang salah, udah ikut contoh yang ada di textbook, udah diverifikasi dengan hitungan manual ngga ada yang beda. Berarti… masa teorinya salah??
Itulah yang mendorong kami untuk mengulik lagi masalah pondasi dengan ekstentrisitas besar ini, khususnya untuk eksentrisitas 2 arah.
Dulu… waktu masih “junior”, kami diajarin jangan mendesain pondasi dengan eksentrisitas besar (di luar area kern, B/6 atau L/6). Alasannya cuma 1, ribet ngitungnya. Open-mouthed smile Kebetulan untuk building memang momennya ngga gede-gede amat, paling pada saat gempa atau angin saja. Itupun jarang sampai eksentrisitasnya besar.
Tapi, begitu ketemu struktur non-gedung… weleh-weleh… amit-amit. Ngga jarang kita ketemu reaksi momen di pondasi yang eksentrisitasnya jauh di luar area kern, bahkan di luar area pondasi itu sendiri. Secara teori, ini diharamkan, eksentrisitas jangan melebihi B/2 atau L/2… soalnya rumusnya ngga ada Open-mouthed smile Open-mouthed smile.
Mau ngga mau, kami harus mendalami lebih jauh lagi masalah ini, ngulik sampe ke dasar-dasarnya. Sebenarnya ada satu teori lagi, tapi pake grafik. Kebetulan kami kurang suka kalo tiba-tiba ada grafik tapi ngga dikasih tau bagaimana cara membuat grafik itu. Kalau grafik itu dibuat berdasarkan eksperimen, penelitian dan pengamatan di lapangan atau di laboratorium, okelah. Tapi kalau grafik yang dibuat dengan menurunkan rumus-rumus… plis… share juga dong rumus-rumusnya. Open-mouthed smile
Makanya, admin (baca: penulis) ini agak-agak alergi sama yang namnya grafik atau tabel yang ngga jelas dasarnya dari mana.

SOLUSI? SOLUSI? SOLUSI?
Kembali ke masalah. Di mana ada masalah di situ ada apa?
Betul sekali.. di situ ada biang kerok.
Itulah kebiasaan sebagian besar orang di luar sana, yang begitu ada masalah, yang dicari malah biang kerok, bukan solusi. Open-mouthed smile Mereka pikir, dengan menemukan biang kerok, masalah sudah terjamin bisa selesai? What??
Kalo masalah di atas, mau diselesaikan dengan cara mencari biang keroknya dulu, gimana caranya? Mau ketemu sama Meyerhoff?? Open-mouthed smile Silahkan kalo ada yang mau menyusul Meyerhoff duluan, kalo ketemu di alam kubur sana, tolong minta klarifikasi tentang masalah ini. Open-mouthed smile
Sebenarnya Meyerhoff ngga salah. Dari awal dia sudah sebutkan kalo ini adalah salah satupendekatan. Masalahnya pendekatannya ini ngga sinkron dengan pendekatan yang lain. Jadi, sebaiknya dan seharusnya disinkronkan lah kalo bisa.
Untungnya di dunia ini, orang cerdas ngga cuma Meyerhoff. Yang bikin kami heran, di berbagai literatur textbook sekelas Braja M.Das, Bowles, Murthy, Coduto, dll.. kok ngga ada yang bahas masalah diskontinuitas ini ya?
Justru kami ketemu solusinya di sebuah mmmm mo dibilang buku bukan, paper atau jurnal juga bukan, tapi semacam ringkasan, summary tentang desain pondasi dangkal. Mau tau siapa penulisnya?
Prof. Dr. ir. Wiratman Wangsadinata. Jangan ngaku orang teknik sipil kalo ngga kenal nama di atas. Ada di wikipedia lho.
Yup.. betul… solusinya ada di bundel “buku” tulisan beliau, walaupun cuma berisi ringkasan materi hasil kutipan dan saduran dari berbagai textbook. Dan Pak Wiratman ternyata kepikiran hal yang sama, dan solusinya sederhana… tinggal mengalikan dengan faktor selisihnya.
Jadi, antara 2P/A dan 1.5P/A ada rasio sebesar 4/3, maka untuk kasus e > B/6, tinggal mengalikan saja dengan faktor 4/3.
Sehingga, persamaan tekanannya menjadi:
q= \dfrac{4P}{3L(B-2e)} , dan persamaan ini kontinyu di e = B/6, yaitu q = 2P/A.
Open-mouthed smile sesederhana itu.
Sayangnya…
Beliau – Pak Wiratman – ngga meneruskan ke kasus eksentrisitas 2 arah. Ada sih… tapi beliau tetap mengacu (baca: mengutip) buku-buku populer lainnya, tetap mengacu ke Meyerhoff.
Dengan adanya solusi untuk eksentrisitas 1 arah itu, paling ngga kita bisa menganalisis sendiri kasus untuk eksentrisitas 2 arah.
Hipotesa kami… kalo mengacu ke solusi sederhana ala Pak Wiratman… untuk eksentrisitas 2 arah yaa tetap dikalikan lagi suatu faktor yang besarnya juga sama dengan 4/3. Jadi faktor 4/3-nya ada 2 kali, alias (4/3)x(4/3) = 16/9.
Hipotesa: q = \dfrac{16P}{9(L-2e_L)(B-2e_b)}
Ingat, ini baru hipotesa, dan belum dibuktikan. Open-mouthed smile Pembuktiannya silahkan siapa yang mau… dijadikan bahan skripsi/tugas akhir juga boleh… agak susah berhubungan dengan makhluk 3 dimensi.
Sumber: http://duniatekniksipil.web.id/